Pameran ini merayakan aspek-aspek kehidupan manusia yang sederhana dan kerap terabaikan. Dalam keheningan dan kesederhanaan itulah, sering kali, kehadiran hidup yang paling jujur dan bermakna justru bersemayam.
Wedhar Riyadi menggelar pameran tunggal bertajuk In Between Stillness di Ara Contemporary, Jakarta, pada 16 Agustus hingga 14 September 2025. Pameran ini menampilkan seri terbarunya, Tabletop Diaries, berupa kumpulan lukisan still life yang merayakan aspek-aspek kehidupan manusia yang sederhana dan kerap terabaikan. Inspirasi karya ini lahir dari pengamatan diam-diam Wedhar selama masa isolasi pandemi COVID-19.
Saat memasuki ruang pamer, perhatian Anda mungkin langsung tertuju pada deretan benda monokrom berwarna merah muda yang tertata rapi di atas meja di tengah galeri. Wajar jika mengira itulah karya utama pameran. Namun, lihatlah daftar karya, dua belas lukisanlah yang resmi dipajang. Benda-benda di meja itu “hanya” aksen pameran, meski kehadirannya sulit diabaikan.
Replika tanah liat itu terinspirasi dari benda-benda domestik yang akrab dalam keseharian Wedhar semasa pandemi. Sengaja dibuat tanpa detail seperti label atau karakteristik khusus, bentuknya yang disederhanakan dan polos justru mengundang penafsiran personal. Seperti prinsip spiritual yang mengajarkan bahwa makna sering muncul dalam keheningan dan kekosongan, benda-benda ini pun menyerahkan interpretasinya pada sang pengamat.

Lantas, apakah perannya sekadar pelengkap? Tentu tidak. Lukisan still life tradisional sering mengungkap kefanaan hidup melalui objek seperti buah tergigit atau bunga layu. Dalam karya Wedhar Riyadi, “kehadiran manusia” justru terasa lewat jejak jari di permukaan tanah liat yang dicubitnya. Goresan, keausan, noda, dan patina menjadi catatan sejarah yang bisu, bukti bahwa benda-benda ini pernah dicipta dan disentuh.
Tanah liat, simbol purba pencipta sekaligus penutup kehidupan, mengingatkan kita pada siklus eksistensi. Maka, meski namanya tak tercantum dalam daftar karya, replika-replika inilah jantung yang menghidupkan setiap lukisan di ruang pamer ini.
Mari menyusuri lebih dalam pameran ini, dimulai dari karya pembuka: Amber Grid. Lukisan ini menyajikan komposisi tenang dua kursi dan sebuah meja kecil, kesan materialnya kasar dan nyata, didampingi tanaman dalam pot di sisi kanan. Sorotan cahaya hangat, bergradasi dari amber ke kuning, mengalir dari atas, menebarkan bayangan panjang yang memberi dimensi dramatis pada adegan. Dominasi warna merah kecoklatan di dinding, dipadu lantai mengilap, menciptakan atmosfer intim dan hangat, bagai ruang privat yang membisikkan undangan untuk merenung.
Sebagai karya pembuka In Between Stillness, Amber Grid dirancang untuk menghujam kesan pertama. Benda-benda domestik yang dihadirkan—kursi, meja, tanaman—adalah fragmen keseharian yang akrab. Namun, Wedhar mengangkatnya melampaui kesederhanaan melalui permainan cahaya dan bayangan yang teatrikal sekaligus reflektif.

Lukisan ini berfungsi bagai “serambi” konseptual. Sebuah ruang transisi yang mempersilakan pengunjung berhenti sejenak, menarik napas, dan meresapi keheningan sebelum melangkah lebih jauh menyusuri kisah-kisah still life lainnya. Atmosfernya yang sunyi namun sarat makna seperti ajakan halus untuk merenungkan ruang, waktu, dan kehadiran tersembunyi dalam ritme domestik yang sering kita lewati.
Atmosfernya yang sunyi namun sarat makna seperti ajakan halus untuk merenungkan ruang, waktu, dan kehadiran tersembunyi dalam ritme domestik yang sering kita lewati.
Beranjak dari Amber Grid, kita disambut oleh kehadiran Loro Blonyo. Lukisan ini menampilkan dua patung manusia yang segera mengingatkan pada figur loro blonyo, simbol tradisional Jawa yang kerap menghiasi rumah-rumah. Dua figur ini diletakkan di tengah tanaman dalam pot, membingkai mereka dalam siluet bayangan daun yang dramatis. Latar belakang merah tua yang kaya, diperkuat oleh pantulan cahaya pada permukaan patung, menciptakan atmosfer yang sekaligus sakral, mendalam, dan sarat misteri.
Makna karya ini terjalin erat dengan filosofi loro blonyo (berarti “dua bersatu”) dalam budaya Jawa. Figur ini, biasanya berupa pasangan suami-istri berbusana tradisional, mewujudkan harmoni, kesetiaan, dan kebahagiaan rumah tangga. Wedhar Riyadi menghidupkan kembali simbol kuno ini dengan konteks baru. Penempatan patung di tengah tanaman bukan sekadar komposisi. Ia bisa dibaca sebagai metafora pertumbuhan dan kehidupan yang terus bersemi.

Dominasi warna merah yang intens—melambangkan semangat, cinta, atau energi vital—memberi nafas kontemporer pada narasi tradisional. Melalui permainan cahaya dan bayangan yang artistik, Wedhar tidak hanya memamerkan estetika, tetapi juga mengundang kita merenungkan relevansi nilai-nilai budaya ini dalam lanskap modern, mempertanyakan keabadiannya di tengah perubahan zaman.
Perjalanan berlanjut ke Recess, lukisan yang mengkristalkan realitas meja kerja domestik di era pandemi. Di atas permukaan, terpajang lampu meja dengan kabel yang meliuk bak urat saraf tegang, tumpukan buku yang menjulang, cangkir kopi, sepasang kacamata, dan secercah harapan dari tanaman kecil dalam pot. Tekstur permukaan yang kaya dan bayangan tajam menghidupkan objek-objek ini, mengisyaratkan jejak penggunaan intensif dan jam kerja yang panjang.
Judul “Recess”, yang berarti jeda atau istirahat, mengandung ironi yang dalam. Meja kerja ini, yang menjadi pusat gravitasi kehidupan selama work-from-home, justru menjadi panggung bagi ketegangan antara produktivitas dan kelelahan. Lampu dan buku adalah monumen bagi tuntutan kerja, sementara cangkir dan tanaman kecil yang menyelinap adalah penanda perlawanan halus, upaya menyelipkan kenyamanan atau sejenak me-recharge diri.

Palet merah yang mendominasi, mirip dengan karya-karya sebelumnya, bisa ditafsirkan ganda. Ia adalah warna ketegangan dan tekanan psikologis kala isolasi, sekaligus warna kehangatan dan perlindungan ruang privat. Recess, dengan demikian, adalah cermin reflektif atas pergulatan kita mencari keseimbangan, antara dedikasi kerja dan kebutuhan mendesak untuk bernapas, di tengah situasi luar biasa yang membelenggu dunia.
Palet merah yang mendominasi, mirip dengan karya-karya sebelumnya, bisa ditafsirkan ganda. Ia adalah warna ketegangan dan tekanan psikologis kala isolasi, sekaligus warna kehangatan dan perlindungan ruang privat
Sementara seri Tabletop Diaries umumnya memusatkan lensa pada benda-benda domestik yang intim, karya di lantai bawah galeri (galeri Focus) berjudul The Light That Remains menyajikan panorama yang berbeda sekaligus mengharukan. Lukisan ini bukan lagi potret diam meja melainkan lanskap simbolis yang sarat narasi. Sebuah jembatan kayu kuning yang rapuh melintang di tengah, diapit bangunan tua berwarna merah kecokelatan dan vegetasi liar yang menjalar. Pohon kering dengan cabang-cabangnya yang mencakar langit menambah nuansa melankolis, sementara kegelapan latar belakang beradu dengan semburat hangat cahaya yang lembut memantul dari jembatan dan dedaunan seperti suluh kecil yang gigih menembus kabut kelam.
Karya ini adalah pintu masuk ke ruang ingatan dan sastra. Wedhar Riyadi mengungkapkan bahwa inspirasi utamanya berasal dari novel Kuntowijoyo, Kereta Api yang Berangkat Pagi Hari, khususnya bagian mengenai gambaran seorang ayah yang setia menantikan kepulangan anaknya, lentera di tangannya menyala di tengah malam. Jembatan yang rapuh dalam lukisan menjadi metafora yang getir. Ia adalah jalan pulang yang didamba, sekaligus cerminan ketidakpastian dan waktu yang terus menggerus harapan.
Reruntuhan bangunan dan vegetasi liar tak hanya menciptakan suasana post-apocalyptic mini, tetapi mungkin melambangkan kenangan yang kian lapuk atau kehidupan yang nekad tumbuh di atas puing-puing kepergian. Cahaya lembut yang menjadi judul karya, meski tak menggambarkan lentera secara fisik, adalah esensi dari cahaya itu sendiri: simbol harapan, kehangatan kasih seorang ayah, dan ketegaran batin yang tak kunjung padam meski kenyataan suram menghadang. Lentera itu menyala bukan di tangan sang ayah dalam lukisan, tapi di ruang hatinya, dan cahayanya merembes keluar melalui sapuan kuas Wedhar.

The Light That Remains, dalam konteks pameran In Between Stillness, menjadi penutup yang sublim. Ia menggeser fokus dari still life benda-benda tak bernyawa ke still life jiwa manusia. Melalui simbolisme yang kaya dan palet kontras yang dramatis, Wedhar tidak hanya merangkum tema kesabaran dan nostalgia dari novel Kuntowijoyo, tetapi juga menyentuh universalitas pengalaman manusia. Karya ini menjadi kesaksian bisu bahwa dalam keheningan dan “diam” yang diamati Wedhar selama pandemi, terdapat juga lanskap batin yang luas, penuh kerinduan, dan cahaya yang tak pernah benar-benar padam.
Di ujung perjalanan di Galeri Focus, setelah menyusuri lukisan-lukisan still life yang membisikkan kisah benda-benda biasa, pengunjung dihadapkan pada sebuah ruang. Di sana, menunggu dalam keheningan yang sama, berdiri figur-figur dari Amber Grid—karya pembuka yang mempersilakan kita masuk— yang kini hadir dalam wujud tiga dimensi sebagai replika tanah liat.
Kehadirannya di ruang ini bagai titik final sekaligus adalah awal baru. Wedhar Riyadi, sekali lagi, mengajak kita memasuki “serambi”-nya. Ruang kosong itu sendiri menjadi metafora terakhir, sebuah ruang jeda, tempat kita diundang untuk berhenti sejenak, benar-benar berhenti. Untuk merenungkan kembali seluruh perjalanan yang telah dilalui.
Ruang intim yang diabadikan ini seperti mengajak kita berpikir. Dalam kesibukan yang sering kali menyita perhatian, bisakah kita menemukan momen “serambi” kita sendiri? Apakah kita mampu melihat keajaiban dalam cangkir kopi di meja pagi, dalam bayangan yang jatuh di dinding sore hari, atau dalam tanaman kecil yang terus tumbuh? Wedhar Riyadi mengingatkan bahwa dalam keheningan dan kesederhanaan itulah, sering kali, kehadiran hidup yang paling jujur dan bermakna justru bersemayam.
- Gambar cover: Dok. Hidayat Adhiningrat
- Merayakan Museum Khayal - September 29, 2025
- Tanah yang Bercerita - September 29, 2025
- Keajaiban Benda di Tengah Keheningan - September 29, 2025