Pameran ini adalah ruang gema bagi yang tak bersuara. Mereka membisikan pesan yang sama, bahwa luka yang dibungkam tak pernah mati dan akan menjadi hantu yang mengitari meja sejarah.
Dua penari, laki-laki dan perempuan, melangkah naik ke atas meja bundar. Diiringi alunan cha-cha ikonik Indonesia era 1970-an, tubuh mereka mulai bergerak. Gerak-gerik mereka terlihat riang tapi juga terasa seperti permohonan pada kenangan dan kerinduan yang tertahan. Tanpa disadari penonton, setiap hentakan kaki di atas meja itu ternyata bukan sekadar tarian. Para penari ini sedang menekan balok kayu berukir yang perlahan mencetak karya seni di atas kain katun yang tersembunyi di bawah telapak kaki.
Begitu tarian usai, meja pun dibuka. Terbentanglah sebuah karya cetak grafis di atas kain katun itu. Visualnya identik dengan karya seni grafis yang terpajang di latar belakang panggung, sebuah karya pada kain brokat berjudul Bu Yao Wang Ji (yang berarti “Jangan Lupa” dalam bahasa Indonesia). Figur dalam karya ini misterius. Dari dekat, bentuknya samar. Namun, begitu pengamat mengambil jarak, gambarnya menjadi jelas: seorang lelaki berjongkok di samping gorong-gorong. Sosok ini akan langsung mengingatkan pada figur Presiden ke-7 Indonesia, Joko Widodo.
Agung Kurniawan, sang seniman pencipta karya, menjelaskan bahwa karya grafis tersebut dibuat untuk menggambarkan sosok presiden Indonesia pasca reformasi 1998. Seorang pemimpin yang diharapkan merakyat, bukan berasal dari kalangan militer, dan terpilih melalui proses demokratis. Namun, dalam perjalanannya, ia dianggap mengecewakan harapan rakyat yang pernah mendukungnya. Agung sendiri pernah mendukung presiden ini di masa lalu. Seiring waktu, ia memilih menjaga jarak untuk melihat lebih objektif, dan dari sana makin terasa kekecewaannya. Karya Bu Yao Wang Ji menjadi simbol perasaan itu.

Setelah karya di bawah meja dipertontonkan, tarian kedua penari tadi tidak lagi terasa sebagai pertunjukan dansa biasa. Ia adalah metafora dari proses penciptaan seni yang menolak menyerah pada amnesia kolektif. Mereka menari melawan arus tawar-menawar atas realitas di era miss-informasi. Tarian mereka seolah ingin mengatakan bahwa menolak lupa memerlukan bentuk pengingat yang kinetik, yang hidup dan bergerak. Dan seperti itulah wujudnya: sebuah gambar yang tercipta di bawah gerak kaki yang sarat makna.
Pertunjukan penari di atas meja ini menjadi pembuka pameran tunggal Agung Kurniawan di ROH Galeri, Jakarta, bertajuk Whoever Stays Until The End Will Tell The Story (Siapa yang Bertahan Hingga Akhir Akan Menceritakan Kisahnya). Pameran yang berlangsung dari 2 Agustus hingga 7 September 2025 ini menghadirkan proyek jangka panjang Agung Kurniawan (atau Agung Leak), yang dikerjakan dengan tekun selama lebih dari satu dekade. Karya-karya lamanya berdialog secara dinamis dengan sejumlah karya baru yang diciptakan khusus untuk pameran ini, membentangkan perumpamaan-perumpamaan tajam seputar iman, pengkhianatan, harapan, dan pengorbanan.
Secara keseluruhan, pameran ini disusun layaknya sebuah novel, terbagi dalam beberapa babak yang berkembang. Setiap babak memberi suara pada protagonis yang berbeda. Melalui lensa naratif ini, pengunjung diajak menyelami bagaimana sejarah Indonesia diceritakan—dan yang lebih penting, yang tak terungkap— melalui suara-suara dari yang masih hidup maupun yang telah tiada.
Secara keseluruhan, pameran ini disusun layaknya sebuah novel, terbagi dalam beberapa babak yang berkembang. Setiap babak memberi suara pada protagonis yang berbeda.
Sebelum menginjakkan kaki di ruang galeri utama, pengunjung sudah disambut oleh instalasi mencuri perhatian di halaman depan. Serangkaian karya relief tersebar di dinding semen abu-abu, berfungsi bagai prolog pameran. Garis-garis besi teralis itu membentuk gambar yang hidup dari permainan bayangan: di terik siang, bayangannya nyaris menghilang bak kamuflase, namun kala senja tiba, cahaya alami tergantikan lampu sorot yang menciptakan ilusi gambar ganda atau bahkan lipat-tiga.
Salah satu relief menampilkan bayangan saudara laki-laki Agung yang menghilang saat bertualang. Gambar lain muncul seperti fatamorgana: seorang pria di atas motor, pemimpin geng motor wanita fiktif mencengkeram pedang, atau anak-anak di atas becak yang ditarik. Di ambang masuk ini, pengunjung seakan dihadapkan pada pertanyaan mendasar: Apa yang sebenarnya terlihat? Apa yang sengaja atau tak sengaja tersembunyi? Bagaimana cara kita memandang, dan mengapa hal-hal tertentu ditampilkan sementara yang lain diabaikan? Pertanyaan-pertanyaan filosofis ini menggantung, menjadi pembuka pikiran sebelum pengalaman formal di dalam ruang galeri dimulai.
Metafora Politik yang Mengeras
Begitu melangkah masuk ke ruang galeri, pandangan langsung tertambat pada dinding yang dipenuhi wajah-wajah manusia. Inilah seri Pontius Pilatus Syndrome (2012-2025), kumpulan patung relief dari sabun berwarna-warni yang membentuk wajah lima tokoh tersisihkan berbagai rezim: Munir, Udin, Marsinah, Trubus, dan Wiji Thukul.
Yang mengejutkan, wajah-wajah itu tidak utuh. Sebagian terkikis jamur, sebagian tergigit hewan pengerat, ada yang rusak dimakan waktu. Sepanjang lebih dari satu dekade pengembangan karya ini, patung-patung sabun itu sengaja dibiarkan membusuk: ditumbuhi lapisan jamur kehijauan, digerogoti serangga, atau dihancurkan tikus. Proses pelapukan ini justru menjadi metafora visual yang menggetarkan. Mulut yang mengerut sampai hilang, kepala yang terbelah atau terpotong, semua mengkristalkan perumpamaan tentang suara yang dibungkam dan pemikiran yang dipenggal.

Melampaui bentuk dan materialnya, judul karya ini menyimpan lapisan makna teologis yang vital bagi narasi pameran. Pontius Pilatus dalam Kitab Matius, gubernur Romawi yang mencuci tangan di hadapan kerumunan, adalah simbol pengingkaran tanggung jawab atas penyaliban Yesus. Sabun sebagai bahan pembersih pun berubah paradoks: ia yang seharusnya membersihkan, justru membusuk dan dikotori jamur sebagai antitesisnya.
Di sinilah metafora politiknya mengeras. Degradasi wajah para aktivis pada sabun yang “kotor” itu menjadi cermin sikap pemerintah dalam kasus penghilangan mereka. Seperti Pilatus, kekuasaan terkesan selalu ingin mencuci tangan. Setiap rongga yang dimakan tikus, setiap lapisan jamur yang menutupi mata patung, adalah pengingat bahwa pengabaian pun meninggalkan jejak yang tak bisa dihapus.
Degradasi wajah para aktivis pada sabun yang “kotor” itu menjadi cermin sikap pemerintah dalam kasus penghilangan mereka. Seperti Pilatus, kekuasaan terkesan selalu ingin mencuci tangan.
Pontius Pilatus Syndrome berhadapan langsung dengan Sri Serie, proyek memori terlama Agung Kurniawan yang menampilkan lima variasi dari 65 gambar identik. Di sini, gambar-gambar itu bukan sekadar potret statis, melainkan arsip hidup yang hanya bernapas melalui partisipasi penonton. Sebelum dipajang utuh dalam pameran ini, potret-potret itu telah “diaktifkan” di berbagai lokasi melalui ritual kolektif.
Sejak 2017, setiap penampilan seri ini menghadirkan 65 peserta yang memegang masing-masing satu gambar. Di bawah arahan Agung, mereka merasakan memori yang melekat pada kertas di genggaman, lalu melafalkan satu kata rahasia di balik gambarnya dengan volume, ritme, dan intonasi yang disinkronkan. Ucapan-ucapan fragmentaris itu menyatu bagai konstelasi suara, menjalin makna melintasi ruang dan waktu.

Kini, ketika dipamerkan dalam grid simetris nan rapi, potret-potret itu justru terkesan ringan. Warna pelangi yang menyelimutinya seolah menyangkal kompleksitas di balik setiap siluet: bayang-bayang ingatan yang sesungguhnya runyam dan sarat beban. Bayangan mengenai pembantaian di tahun 1965 sebagai luka bangsa yang masih menganga.
Di ruang yang sama, sebuah instalasi partisipatif menunggu di tengah galeri: meja panjang yang mengundang pengunjung untuk duduk dan membuka The Guest, buku cerita bergambar dengan halaman-halaman sengaja dikosongkan. Dalam narasi visualnya, tiga karakter muncul berulang: seekor beruang berkerudung misterius, seorang anak penuh tanya, dan monster yang menyusup lalu melahap habis barang-barang mereka.
Buku-buku ini bukan benda pasif. Mereka merangkap panggung imajinasi kolektif. Pengunjung dipersilakan mengisi baris-baris kosong itu dengan cerita sendiri sekaligus mewarnai ilustrasi hitam-putihnya. Di sini, aktivitas mewarnai menjadi ritual simbolik: bagaimana kau memberi warna pada momen “makan bersama” monster dan binatang buas?
Alegori Suci yang Berkembang Biak
Di ruang transisi antara Galeri Apple dan Orange, The Last Dance karya Agung Kurniawan menciptakan meditasi bergerak: kumpulan pakaian penyintas tragedi 1965 berputar pelan searah jarum jam. Kain-kain technicolor dengan tekstur berbeda itu membentuk tarian di mana warna-warni cerianya menyangkal nostalgia kelam yang melekat pada setiap serat. Barulah saat pengunjung menyelami detail jahitan dan lapisan materialnya, rasa kehilangan menerkam: bekas luka sejarah yang tak terungkap.
Instalasi ini diiringi komposisi suara dari Sri Wahyuni (tokoh kunci Sri Serie), menciptakan dialog antara korban dua zaman. The Last Dance menyiratkan paralel alkitabiah: sebagaimana dalam Injil, orang yang menyentuh jubah Kristus sembuh oleh iman, karya ini pun menjadi medium “mukjizat” memori yang membangkitkan keyakinan akan ingatan yang melampaui pengalaman personal, sebuah iman baru pada sejarah yang terampas.

Bolehlah kita katakan bahwa pameran ini seperti sedang menegaskan kembalinya Agung Kurniawan pada alegori suci sebagai kerangka moral. Seperti ditelisik Mira Asriningtyas dalam esai kuratorial, Agung memadatkan narasi tokoh-tokoh sejarah Indonesia ke dalam struktur teologis. Bukan sebagai doktrin, melainkan strategi permainan tanda untuk memetakan mekanisme kelupaan kolektif.
Lihatlah lukisan-lukisannya: tubuh-tubuh manusia terlipat menjadi arsitektur mimpi buruk, atap bergelombang menjelma tulang belikat, pintu kakus membelah torso. Di dunia imajinasi yang ada dalam lukisan-lukisan Agung, waktu mengambang dan raga harus didekonstruksi ulang untuk bertahan di panggung alegori. Kekuasaan mengukir tubuh sebagai kostum dan panggungnya selalu dilumuri merah tembaga darah.
Alegori-alegori suci ini saling berjalin: dari Pontius Pilatus Syndrome (pencuci tangan penguasa), Laki-Laki yang Bangkit dari Kubur (pelukan Yudas berstigmata), hingga The Last Dance (jubah penyembuh yang ironis). Pengulangan pola ini adalah aktivasi ulang kesadaran. Di tengah dunia dengan memori terfragmentasi dan kebenaran yang tak tuntas, Agung Kurniawan menawarkan senjata, yaitu kembalinya kekuatan alegori sebagai bentuk peringatan.

Pada akhirnya, pameran ini adalah ruang gema bagi yang tak bersuara. Mereka membisikan pesan yang sama, bahwa luka yang dibungkam tak pernah mati dan akan menjadi hantu yang mengitari meja sejarah. Di galeri ini, representasi memori kolektif tak lagi mengandalkan fakta utuh, tapi justru menyusun mozaik dari fragmen, luka, dan ketidakbenaran yang dipaksakan.
Alih-alih judul pameran, Whoever Stays Until The End Will Tell The Story sebenarnya adalah sebuah metode. Sebuah kesaksian bahwa siapa pun yang bertahan hingga akhir, akan menemukan cerita yang sebenarnya tersembunyi di balik tarian, sabun, dan bayangan-bayangan yang tak pernah benar-benar pergi.
Bertahan di sini berarti masuk ke dalam tarian itu sendiri, menjadi penari yang kakinya menekan luka hingga ia bersuara, pendengar yang merelakan jiwa terkoyak demi merangkai fragmen cerita, dan saksi yang memahami bahwa setiap permukaan yang kita injak mungkin menyembunyikan kanvas kebenaran. Hingga di ujung hari, siapa pun yang bertahan akan bisa menceritakan kebenarannya.
- Gambar cover: Dok. Hidayat Adhiningrat
- Merayakan Museum Khayal - September 29, 2025
- Tanah yang Bercerita - September 29, 2025
- Keajaiban Benda di Tengah Keheningan - September 29, 2025