Karya-karya mereka menyuarakan penolakan terhadap narasi literal, seraya menjajaki medan yang sama: batas-batas seni non-figuratif melalui elemen dasarnya yang paling purba—bentuk, warna, dan tekstur.
Ada suatu masa dalam sejarah seni rupa Indonesia yang jejaknya masih terasa hingga kini. Masa itu diwarnai oleh kemunculan Gerakan Seni Rupa Baru (GSRB) pada pertengahan 1970-an. Sebagai respons terhadap batasan-batasan seni rupa tradisional, gerakan ini hadir dengan semangat pembaruan, mendobrak dominasi lukisan, patung, dan grafis konvensional. Awal mula kelahirannya dapat ditelusuri dari “Pernyataan Desember Hitam 1974” yang menusuk kesadaran, serta polemik sengit antara Oesman Effendi dan S. Sudjojono tentang eksistensi seni lukis Indonesia.
Dalam narasi besar GSRB ini, nama Sanento Yuliman mencuat sebagai salah satu tokoh kunci. Sebagai kritikus, dosen, dan pemikir, dialah yang merumuskan “Perspektif Baru” dalam katalog Pameran Seni Rupa Baru ’75. Sebuah tulisan yang lantas menjadi semacam manifesto bagi gerakan tersebut. Maka, ketika esai kuratorial pameran “Adu Manis” di Galeri Salihara (diselenggarakan bersama ArtSociates) dibuka dengan kutipan pernyataan Sanento, mau tidak mau pikiran saya langsung tercerabut ke masa lalu, menautkan benang antara sejarah dan kemungkinan. Jangan-jangan, pameran ini ingin menyambung gagasan yang dulu diperjuangkan GSRB?
“Perupa zaman ini berbeda dengan perupa zaman dahulu,” tulis Sanento Yuliman, dikutip oleh kurator Rifandy Priatna di awal esai kuratorialnya. Dalam pemikiran Sanento, ingatan visual para perupa masa kini telah berubah menjadi semacam “museum khayal”—ruang imajiner yang dipenuhi banjir citra dari pameran, reproduksi karya, dan gelombang media digital. Di tengah landscape visual yang begitu padat, gaya bukan lagi monolit kaku yang mendefinisikan identitas seniman. Ia berubah menjadi medan eksperimen yang cair dan dinamis: sebuah respons terhadap kelimpahan gambar, sekaligus perlawanan terhadap dogma modernisme yang menuntut konsistensi.
Di tengah landscape visual yang begitu padat, gaya bukan lagi monolit kaku yang mendefinisikan identitas seniman.
Pergeseran ini tidak hanya terjadi pada proses penciptaan, tetapi juga pada cara kita sebagai penonton mengalami dan membaca karya. Perilaku masyarakat dalam mencerna informasi telah berubah secara fundamental, didorong teknologi yang memampatkan ruang dan waktu. Akses real-time terhadap pengetahuan visual, kemudahan menjangkau seniman secara digital, dan tsunami informasi menciptakan ekosistem baru. Sebuah dunia di mana seniman, karya, dan penikmatnya hidup dalam ruang dan waktu yang sama, memungkinkan pertukaran yang lebih demokratis: sebuah dialog multi-perspektif antara sudut pandang personal penonton, visi individual seniman, dan konteks formal karya itu sendiri. Dan inilah, tegas Rifandy, landasan konseptual yang melatari pameran “Adu Manis”.

Istilah “adu manis” yang dijadikan judul pameran merujuk pada teknik penyambungan dua bidang kayu dengan potongan presisi 45 derajat yang menghasilkan sambungan sempurna bersudut 90 derajat. Dalam konteks pameran ini, teknik tersebut menjadi alegori untuk pertemuan kreatif. Setiap pertemuan melahirkan gesekan: energi dari elemen-elemen yang saling berinteraksi, berkonflik, dan bernegosiasi.
Gesekan Tiga Bahasa Rupa
Pameran “Adu Manis” menghadirkan tiga perupa Bandung: Gabriel Aries, Reggie Aquara, dan Rendy Pramudya. Karya-karya mereka menyuarakan penolakan terhadap narasi literal, seraya menjajaki medan yang sama: batas-batas seni non-figuratif melalui elemen dasarnya yang paling purba—bentuk, warna, dan tekstur.
Begitu memasuki ruang pamer, pandangan langsung tersita oleh sebuah lukisan yang bentuknya seperti representasi buket bunga yang sedang meledak dalam dinamika yang membeku. Ini adalah karya Reggie Aquara dari seri “Painters Bouquet”. Sebuah kanvas persegi dengan latar belakang hitam pekat yang menyediakan panggung kontras dramatis, membuat elemen utamanya—sebuah massa bunga yang padat—menjulang secara nyaris brutal.
Bunga-bunga ini bukan dilukis, tapi dibangun dari gumpalan cat akrilik tebal yang ditumpuk-tumpuk, menciptakan efek tiga dimensi yang sangat taktil dan bertekstur kasar, mirip frosting kue yang disemprotkan secara spontan dan penuh gairah. Dalam konteks wacana kuratorial pameran, karya Reggie Aquara ini adalah perwujudan fisik dari “museum khayal” dan perlawanan terhadap dogma modernisme. Ia dengan gagah menantang batas antara seni lukis tradisional dan eksperimen material, menegaskan bahwa keindahan justru muncul dari ketidaksempurnaan dan spontanitas, laksana bunga yang mekar liar tanpa pola yang dikungkung.
Warna-warna dominan—gradasi merah tua, merah muda, oranye, dan kuning cerah di puncaknya—memancarkan kesan api atau ledakan energi yang berpusar. Sementara di bagian bawah, transisi ke hijau tua dan muda mengisyaratkan batang dan daun, dengan percikan putih kecil bagai titik embun atau bunga liar. Elemen percikan cat yang tersebar di sekitar buket semakin memperkuat rasa gerak dan kekacauan organik yang tertangkap basah.
Karya ini terasa “hidup” dan bergetar. Permukaannya yang timbul mengundang hasrat untuk disentuh, seolah catnya masih basah dan bentuknya bisa berubah setiap saat. Judul serinya, “Painters Bouquet” (Buket Sang Pelukis), membuatnya seakan menjadi persembahan dari pelukis untuk dirinya sendiri atau penonton, di mana material cat itu sendiri naik menjadi subjek utama, bukan sekadar alat.
Gumpalan cat yang tebal dan berlapis itu bisa dibaca sebagai metafora akumulasi perasaan, sebuah ledakan emosi yang tak terkendali. Warna merah dan oranye yang berapi-api melambangkan gairah, kemarahan, atau vitalitas, sementara hijau di dasarnya menandakan akar, pertumbuhan, atau ketenangan organik yang mendasarinya. Dalam dialog “adu manis” ini, Reggie Aquara seolah bertanya: di mana batasan antara lukisan dan patung, antara keindahan dan kekacauan, antara kontrol dan pelepasan?
Di mana batasan antara lukisan dan patung, antara keindahan dan kekacauan, antara kontrol dan pelepasan?
Karya-karya Reggie lainnya dalam pameran ini hadir dengan semangat yang sama, meski melalui pendekatan figuratif yang berbeda. Teknik dekoratif pastry yang menjadi ciri khasnya berhasil ditransformasi menjadi sebuah bahasa rupa kontemporer yang unik. Gumpalan-gumpalan cat yang membeku itu bagai fosil dari sebuah gestur spontan yang abadi, merekam energi momen penciptaan.
Beranjak dari karya Reggie, lukisan-lukisan Rendy Pramudya menawarkan sebuah dunia yang sama sekali berbeda. Dalam seri “Wirama Di Alam Batas”, kita disuguhi tiga lukisan yang mengusung gaya abstrak ekspresionis dengan elemen organik yang cair, dinamis, dan berlapis-lapis. Bentuk-bentuknya tidak merepresentasikan objek nyata, melainkan menyerupai aliran energi atau bentuk-bentuk dari alam bawah sadar yang saling bertumpuk, diwarnai dengan palet yang intens dan kontras untuk menciptakan kedalaman visual yang memukau.
Pada satu lukisan, latar belakang biru tua keunguan menjadi panggung bagi bentuk sentral berwarna oranye, kuning, dan merah yang terlihat meleleh dan mengalir ke bawah, bagai api atau formasi geologis yang abstrak. Garis-garis hitam tipis yang melengkung dan menjalar menambah sensasi gerak vertikal dan ketegangan, seolah bentuk tersebut sedang “meledak” dari dalam kanvas.
Di lukisan lainnya, latar belakang merah muda keunguan yang lebih lembut menyangga massa bentuk utama berwarna merah tua, ungu, dan hijau gelap yang saling berpadu. Bentuknya mengingatkan pada organ tubuh atau awan yang bergolak, dengan coretan-coretan halus dan sapuan kasar yang memberikan tekstur berlapis. Elemen pink dan biru muda hadir sebagai penambah kontras, menciptakan kesan yang lebih introspektif dan tidak seekstrim lukisan sebelumnya.
Lukisan ketiga menampilkan latar belakang oranye kemerahan yang hangat, dengan bentuk dominan hijau tua, biru gelap, dan ungu yang menyerupai tetesan atau aliran cairan yang menetes ke bawah. Bintik-bintik hitam dan garis-garis acak memperkuat kesan organik, seolah lukisan ini membekukan momen transisi antara bentuk padat dan cair. Komposisi ini terasa paling “liar” di antara ketiganya, dengan elemen-elemen yang mirip tumbuhan atau partikel yang tersebar.

Secara keseluruhan, seri “Wirama Di Alam Batas” dapat dimaknai sebagai sebuah eksplorasi metafisik tentang batas-batas antara realitas fisik dan alam pikiran yang tak terlihat. Judulnya sendiri—“Wirama” (ritme atau irama dalam bahasa Jawa/Sanskerta) dan “alam batas”—menunjuk pada tema irama di wilayah liminal, sebuah ruang ambang di mana bentuk-bentuk organik mewakili ketidakpastian eksistensial, sebuah perjuangan abadi antara kontrol (keteraturan) dan kekacauan (kebebasan).
Lukisan-lukisan Rendy ini ibarat visualisasi dari proses pikiran bawah sadar: bentuk-bentuk cair yang mengalir melambangkan ide-ide yang tak terumuskan, sementara kontras warna yang tajam mencerminkan ketegangan emosional dan spiritual yang mendasarinya. Selain lukisan, Rendy Pramudya juga memamerkan sebuah instalasi yang menjadi titik penting dalam pameran. Karya ini terdiri dari susunan empat lapis kain silk screen tembus pandang, yang berfungsi seperti suatu pembedahan anatomis atas metode kerjanya. Setiap lapisan merupakan upaya pengungkapan kesadaran yang biasanya tersembunyi di balik permukaan kanvas yang sudah jadi.
Pendekatan ini tidak sekadar menunjukkan teknik, melainkan sebuah undangan untuk menyelami ontologi penciptaan—dasar-dasar paling hakiki dari bagaimana sebuah karya lahir. Keempat lapisan yang dalam karya akhir biasanya menyatu membentuk ilusi sebuah kesatuan visual, kini terpapar sebagai entitas yang mandiri. Hal ini memungkinkan kita menyaksikan percakapan intim antara gestur motorik spontan (impuls bawah sadar) dan komposisi yang disengaja (nalar dan kontrol seniman).
Karya instalasi tersebut merupakan perluasan konseptual dari eksplorasi material Rendy. Dengan membongkar proses menjadi lapisan-lapisan transparan, ia tidak hanya memamerkan produk akhir, tetapi justru menelusuri kembali “genesis” atau kelahiran dari bentuk-bentuk organiknya. Seperti membentangkan peta pikiran metafisik yang biasanya tersembunyi di balik kanvas yang sudah selesai.
Dengan demikian, instalasi ini menjadi kunci untuk memahami seluruh tubuh karyanya dalam pameran. Karya ini adalah meta-karya—sebuah karya tentang proses berkaryanya sendiri—yang dengan jernih merefleksikan landasan konseptual pameran “Adu Manis”: sebuah dialog multi-perspektif yang mengajak kita untuk tidak hanya melihat hasil akhir, tetapi merasakan denyut nadi dan napas panjang dari sebuah penciptaan.
Di tengah ruang pameran, Gabriel Aries menyajikan kontras yang mencolok melalui material-material keras dan tegas: logam, batu, resin. Dalam menanggapi tantangan ruang pamer, Gabriel tidak hanya menempatkan karya-karyanya, tetapi menjadikan cahaya sebagai elemen pahat yang setara dengan material fisik lainnya.
Pendekatan Gabriel terhadap pameran ini bersifat arsitektural dan sangat memperhatikan skala ruang. Ia menciptakan karya patung gantung yang secara radikal mengubah hubungan tradisional antara objek, ruang, dan penonton. Beberapa karyanya sengaja digantung pada ketinggian yang bervariasi, menciptakan dinamika visual yang mengajak mata penonton bergerak secara vertikal, melampaui cara pandang horizontal yang konvensional.

Sebuah karya dari resin transparan bergantung pada struktur stainless steel yang dipoles sedemikian rupa sehingga membiaskan cahaya ke sudut-sudut ruang yang tak terduga. Karya ini menciptakan pola cahaya yang terus berubah seiring pergerakan penonton, menjadikan pengunjung tidak hanya sebagai pengamat pasif tetapi bagian integral dari karya itu sendiri. Di tempat lain, karya stainless steel yang dipoles seperti cermin digantung pada sudut tertentu, menangkap dan merefleksikan fragmen-fragmen ruang pamer serta tubuh penonton yang lewat, menyatukan karya dengan lingkungannya dalam cara yang hampir tak terpisahkan.
Gabriel secara khusus mempertimbangkan bagaimana karya berinteraksi dari berbagai sudut pandang. Sebuah patung yang digantung di tengah ruang dapat dilihat 360 derajat, menawarkan pengalaman yang berbeda dari setiap sisi. Pendekatan multidimensi ini menciptakan dialektika antara kekuatan dan kelemahan, opacity dan transparansi, yang menjadi ciri khas karya-karyanya.
Dengan pendekatan ini, Gabriel tidak hanya menempatkan karya di dalam ruang, tetapi menciptakan hubungan simbiotik di mana karya dan ruang saling mendefinisikan. Setiap karya menjadi semacam portal yang mengubah persepsi kita terhadap ruang di sekitarnya, sekaligus mengundang kita untuk merenungkan batas-batas antara objek seni, arsitektur, dan pengalaman perseptual itu sendiri. Dalam konteks “Adu Manis”, karya Gabriel menjadi percakapan tentang bagaimana materialitas dan imaterialitas—yang padat dan yang tembus pandang—dapat bersatu dalam harmoni yang dinamis.
Pada akhirnya, pameran ini bukan sekadar pertunjukan visual, melainkan sebuah pernyataan filosofis. Jika pertanyaan awal tulisan ini adalah apakah “Adu Manis” ingin menjadi perpanjangan tangan GSRB, jawabannya tidak terletak pada peniruan bentuk, melainkan pada kesetiaan pada rohnya yang paling hakiki: semangat untuk terus mempertanyakan batas, merayakan eksperimen, dan yang terpenting, mempercayai bahwa seni rupa adalah medan pemikiran yang hidup. Sehingga karya yang hadir di sini, tidak lain tidak bukan, muncul sebagai representasi ‘museum khayal’ yang tak pernah berhenti diperdebatkan, ditafsir ulang, dan diperbaharui.
- Gambar Cover: Dok. Hidayat Adhiningrat
- Merayakan Museum Khayal - September 29, 2025
- Tanah yang Bercerita - September 29, 2025
- Keajaiban Benda di Tengah Keheningan - September 29, 2025