Pintu Belakang, Reruntuh, dan Bayang-Bayang Kehendak


Pameran “Staging Desire” (Panggung Kehendak) membuncah sebagai pertemuan dua seniman yang berbeda jalan. Di sini, performativitas itu tak disembunyikan, tapi dijadikan metode sekaligus subjek.


Berbeda dari pameran seni rupa lazim yang menyambut pengunjung lewat pintu depan galeri, “Staging Desire” justru mengajak kita masuk melalui jalan belakang. Dari samping parkiran motor, sebuah pintu gudang terbuka. Setelah menapaki tangga kecil, kita tiba di ruang antara, gudang transit barang-barang pameran yang disulap jadi gerbang awal. Ruang belakang Galeri Salihara ini langsung menyergap dengan dramaturgi pencahayaan temaram. Sorotan lampu yang tertata apik menciptakan bayangan bergerak di dinding, mengubah sudut pragmatis jadi panggung kecil yang siap membisikkan kisah.

Di tengah ruang, tumpukan jerami acak menyembulkan nuansa pedesaan sekaligus kesan usang. Dari tengahnya, sebuah tongkat kayu menjulang dengan gagah, dihiasi objek dekoratif mirip burung atau kupu-kupu di ujungnya. Warna biru, kuning, dan merahnya yang mencolok, plus hiasan bulu-bulu halus, memberi denyut hidup di tengah kekakuan jerami. Di sisi kanan, meja kayu sederhana berdiri anggun dikelilingi jerami, memperkuat narasi rustic. Sementara di belakang, instalasi-instalasi kecil melayang memantulkan siluet magis di dinding saat kena cahaya. Kilau samar dari permukaan kaca di sisi kiri pun menyempurnakan permainan tekstur visual.

Ruang ini adalah prolog yang memukau: perpaduan jerami, kayu, dan pencahayaan teatrikal yang menciptakan atmosfer intim sekaligus penuh teka-teki. Di hadapannya, sebuah partisi rotan anyam berfungsi sebagai “pintu” ke ruang utama. Strukturnya yang kokoh namun fleksibel menyimpan kejutan: saat didorong di sisi kanan, anyaman itu berputar lentur pada porosnya. Gerakan rotan yang hidup itu seakan mengajak kita masuk ke dunia baru. Melewati pintu dinamis, saya masih terus mempertanyakan makna di balik setiap tanda visual di ruang ini. Bagaimanapun, ini pameran seni rupa—setiap detail visual pasti menyimpan maksud.

Belum sudah semua makna saya cerna, ruang utama Galeri Salihara menyabet perhatian yang lebih besar, “mengalahkan” apa yang terlihat di ruang kecil sebelumnya. Ruang utama “Staging Desire” memancarkan aura teatrikal yang lebih memikat, dengan pencahayaan sebagai sutradara tak terlihat. Sorotan lampu yang tajam mengukir kontras dramatis antara terang dan bayangan gelap. Cahaya tak hanya menerangi karya, tapi juga menghidupkan siluet-siluet yang menari di dinding, mengubah ruang ini menjadi panggung hidup penuh dimensi.

Di jantung ruangan, sebuah rumah bobrok berdiri sebagai magnet perhatian. Rumah lapuk bernyawa ini—ditemukan Imam Sucahyo di pertanian Tuban—miring usang seolah membisikkan kisah retaknya rumah tangga. Sekelilingnya, figur-figur aneh berdominasi biru, kuning, dan merah menjulang di tongkat kayu. Ekspresi wajah mereka yang penuh cerita, ditopang tekstur kasar jerami yang kontras dengan lipatan acak, membentuk karakter dalam narasi besar.

Di atas rumah, struktur vertikal mirip makhluk fantastis menegang dengan “tanduk” atau tentakel di puncaknya, anyaman kawatnya berputar menghadirkan ilusi gerak. Bayangannya terproyeksi megah ke layar bulat belakang, menciptakan dramaturgi wayang kontemporer. Tak jauh, kerangka kayu primitif berpendar, disandingkan televisi kecil yang menyelipkan modernitas. Rumah bobrok ini adalah titik konvergensi memori bagi dua seniman: Imam Sucahyo dan Nindityo Adipurnomo. Dari metafora kayu lapuk inilah pameran bermula, dan segala karya di sekitarnya lahir.

Pameran Staging Desire Nindityo Adipurnomo dan Imam Sucahyo di Galeri Salihara/Dok. Hidayat Adhiningrat

Mengintip catatan kuratorial Zarani Risjad, Pameran “Staging Desire” (Panggung Kehendak) membuncah sebagai pertemuan dua seniman yang berbeda jalan: Imam Sucahyo dan Nindityo Adipurnomo. Bagi Imam, berkarya adalah ritual merangkul pengamatan, memori, dan imajinasi. Sebuah peleburan realitas yang cair. Praktiknya berakar pada Tuban, kota pelabuhan tua yang menyimpan jejak Majapahit sekaligus luka erosi pantai dan sampah. Di sini, pengamatan Imam bukan sekadar melihat, melainkan merasakan melalui intuisi dan kediaman. Keterbukaan inilah yang membentuk sudut pandangnya.

Wayang karton karyanya pun menolak pakem: arketipe tak dikunci, narasi dibiarkan terbuka bagi interpretasi dan penyusunan ulang. Ambiguitasnya justru menjadi kekuatan, memicu proyeksi personal dan pembacaan yang terus bergeser. Baginya, kehendak bukan teka-teki untuk dipecahkan, melainkan cara meresapi keseharian: mengamati, menanggapi, mencipta. Tenang, sulit dipatok, dan tak memaksa resolusi. Karyanya adalah ruang tempat makna tumbuh bersama penyimak, kehendak untuk menghidupkan pengalaman yang terasa, tanpa membelenggu artinya.

Nindityo menempuh jalan berbeda, baginya hasrat adalah alat membentuk subjek. Tiga dekade praktiknya berkisar pada refleksi kritis tentang identitas yang cair. Di sinilah teori hasrat Lacan menemukan relevansi, hasrat yang berakar pada ketidakhadiran, dimanifestasikan sebagai pertunjukan. Subjektivitas, dalam kerangka ini, bukan inti yang stabil, melainkan bentukan citra, bahasa, dan kerinduan akan sesuatu yang selalu luput.

Di sinilah teori hasrat Lacan menemukan relevansi, hasrat yang berakar pada ketidakhadiran, dimanifestasikan sebagai pertunjukan.

Struktur pameran pun menjadi cermin konsep ini. Pintu belakang galeri yang dipilih sebagai awal perjalanan bukan kebetulan: ia adalah zona liminal, ruang persiapan di balik panggung tempat transformasi terjadi. Koreografi ruang ini mengukuhkan teatrikalitas “Staging Desire”, di mana identitas dibangun lewat tatapan penyimak. Seperti dikatakan Lacan, hasrat bukan milik pribadi melainkan pentas yang terus menggelar diri. Di sini, performativitas itu tak disembunyikan, tapi dijadikan metode sekaligus subjek. Tampaklah di sini bahwa pintu belakang yang kita lewati tadi adalah kunci: ia mengingatkan kita bahwa setiap identitas adalah akting yang dimulai dari ruang gelap.

Dua Tafsir atas Reruntuhan

Bagi Imam, rumah bobrok itu pelindung jiwa yang runtuh. Ketika kayunya lapuk, energinya tersebar liar, tak lagi tertahan. Reruntuhannya menjadi cermin: retaknya struktur domestik, lunturnya nilai bersama, dan kohesi sosial yang remuk. Ia mengenangnya sebagai gubug penceng, sebutan Jawa untuk konstelasi Salib Selatan (Lintang Gubug Penceng). Di masa kecil, atap miring rumahnya ia panjat untuk mempelajari bintang. Kini, kemiringan serupa pada rumah bobrok itu membangkitkan kenangan: pengamatan langit masa lalu menyatu dengan realitas ladang di depannya.

Lintang Gubug Penceng—penanda arah selatan dan musim kemarau sejak era Mataram—baginya bukan sekadar navigasi. Ia artikulasikan lewat rumah rusak ini sebagai dialog puitis dengan tanah: bagaimana lanskap dipahami turun-temurun, lalu berubah. Saat iklim tak lagi terprediksi dan konstelasi kehilangan fungsi praktis, Imam melihatnya bukan sebagai kehilangan, melainkan adaptasi manusia yang abadi.

Di bawah sorot lampu galeri, saya tak lagi melihat pemaknaan reruntuhan rumah dengan makna yang sama. Saya tidak pernah melihat rumah ini sebelumnya, hanya apa yang terlihat di galeri saat ini, dan saya tidak bisa memahaminya sebagai rumah yang tak lagi berfungsi sebagai tempat berlindung seperti apa yang dilihat Imam. Bagi saya ini panggung: wayang-wayang karton Imam dengan figur aneh-anehnya menjadi penghuni baru, menghidupkan lakon pewayangan kontemporer. Dan saya rasa Imam akan merestui tafsiran ini. Bukankah baginya makna selalu cair?

Pameran Staging Desire Nindityo Adipurnomo dan Imam Sucahyo di Galeri Salihara/Dok. Hidayat Adhiningrat

Lihatlah beberapa gambaran “figur aneh” itu. Di satu sudut rumah, terdapat figur wayang yang paling menonjol dan dominan. Figur ini memiliki tubuh besar yang dihiasi dengan ornamen warna-warni yang sangat detail. Kepalanya dimahkotai hiasan yang menyerupai api atau sinar matahari dalam warna kuning, merah, dan hijau, memberikan kesan agung dan penuh kekuatan. Wajahnya dilukis dengan ekspresi garang: mata besar yang menonjol, alis tebal, dan mulut terbuka yang memperlihatkan gigi-gigi tajam, seolah sedang mengaum atau mengekspresikan kemarahan.

Warna kuning mendominasi wajahnya, dengan aksen merah dan biru, yang dalam budaya Jawa sering melambangkan keberanian, kekuatan, dan semangat. Tubuhnya dipenuhi pola lingkaran dan spiral berwarna biru, merah, kuning, dan hijau, menciptakan kesan dinamis dan hidup. Figur ini duduk dengan posisi kaki terbuka, menunjukkan sikap dominan, dan memegang tongkat atau senjata di tangan kanannya, yang dapat diartikan sebagai simbol kekuasaan atau perlindungan.

Figur ini kemungkinan besar mewakili tokoh mitologi atau dewa yang kuat dan berwibawa dalam tradisi wayang, seperti Rahwana atau Batara Kala, yang sering digambarkan sebagai sosok antagonis namun penuh karisma dan kekuatan. Penggunaan warna-warna cerah dan pola modern menunjukkan bahwa figur ini tidak hanya merepresentasikan cerita tradisional, tetapi juga menjadi simbol keberagaman dan kreativitas dalam interpretasi seni kontemporer. Sedikit banyak mengingatkan pada figur-figur wayang Heri Dono.

Di sisinya, terdapat figur yang lebih kecil, berbentuk seperti burung atau makhluk mitologi dengan paruh panjang dan tajam. Figur ini berwarna coklat tua dengan aksen putih dan kuning pada paruhnya, serta tubuhnya dihiasi pola-pola kecil yang menyerupai sisik atau bulu. Posisinya seolah-olah sedang terbang atau melayang, dengan sayap kecil di sisi tubuhnya.
Di bagian bawahnya, terdapat figur kecil berbentuk ikan atau naga mini dengan warna biru dan kuning. Figur ini memiliki mata besar dan ekspresi lucu, dengan mulut terbuka seolah sedang berbicara atau bernyanyi. Tubuhnya dipenuhi lingkaran-lingkaran kecil yang memberikan kesan ceria dan playful. Dalam budaya Jawa, ikan atau naga sering diasosiasikan dengan air, kesuburan, dan kehidupan. Figur ini mungkin melambangkan aspek kehidupan yang lebih lembut, penuh harapan, dan harmoni dengan alam, menciptakan kontras dengan kekuatan garang figur sebelumnya.

Imam tampaknya gemar menciptakan figur-figur semacam ini. Pada lukisan besar yang terpampang di dekat pintu masuk, tersaji sebuah komposisi yang kaya akan warna dan elemen-elemen abstrak yang menarik perhatian. Di pusat karya ini berdiri sebuah figur utama yang tampak seperti makhluk mitologis atau spiritual, dirancang dengan gaya yang penuh fantasi. Figur ini memiliki tubuh yang panjang dan lentur, dihiasi dengan pola-pola bulat dan spiral dalam warna-warna cerah seperti biru, hijau, kuning, dan merah muda. Bagian kepala figur ini tampak menonjol dengan wajah yang samar, di mana mata besar dan ekspresif terlihat menatap ke arah penonton, memberikan kesan misterius.

Tubuh figur tersebut dihiasi dengan elemen-elemen organik, seperti daun-daun besar yang menjuntai dan tentakel atau lengan yang melengkung, yang seolah-olah hidup dan bergerak. Di bagian dada, terdapat dua lingkaran kuning yang mungkin melambangkan mata atau simbol kehidupan, dikelilingi oleh pola-pola berwarna yang menyerupai jaring atau sisik. Kaki figur ini tampak kokoh, diwarnai dengan warna kuning terang dan dihiasi dengan titik-titik kecil, memberikan tekstur yang unik.

Di sekitar figur utama, ada berbagai elemen pendamping yang menambah kompleksitas karya ini. Di bagian atas kiri, ada wajah tambahan yang tampak seperti masker atau sosok lain, dikelilingi oleh lingkaran-lingkaran berwarna yang mungkin melambangkan matahari atau bintang. Di sisi kanan, sebuah sosok kecil berwarna hijau dengan kepala bulat tampak berdiri, seolah-olah sebagai penjaga atau pendamping figur utama. Seluruh latar belakang dipenuhi dengan pola-pola geometris dan organik yang saling tumpang tindih, menciptakan kesan seperti dunia lain yang penuh kehidupan dan energi.

Pameran Staging Desire Nindityo Adipurnomo dan Imam Sucahyo di Galeri Salihara/Dok. Hidayat Adhiningrat

Kembali ke “Rumah Bobrok”, Nindityo ternyata juga menafsirnya dengan cara yang lain dari Imam: rumah bobrok itu baginya adalah metafora erosi ruang sosial terutama institusi keluarga. Karena ia, seperti saya, tak pernah menyaksikan rumah itu dalam konteks aslinya, bacaannya pun lahir dari ketidakhadiran. Bagi Nindityo, kekuatan rumah justru terletak pada ketidakutuhannya. Dalam istilah Lacanian: hasrat tumbuh dari kekosongan, dan rumah rusak ini menjadi situs proyeksi narasi tentang kohesi yang tak terpenuhi.

Proyeksi itu merambat ke seri karya Keluarga Dinasti yang dipajang di sampingnya. Judul-judulnya—Bapak Dikelilingi Para Penjilat, Bapak Mengadu Domba—bukan penanda cerita, melainkan “kebocoran bawah sadar” Nindityo yang menyiratkan kecemasan politik pasca-Pemilu 2024. Figur-figur rotannya yang dilapisi kulit kerbau, kulit buaya, bahkan sampah plastik, menyembunyikan senjata: keris Jawa hingga AK-47 yang moncongnya berubah jadi penis kendur.

Bentuk-bentuk hibridanya, seperti Bapak yang menyerupai kadal raksasa, adalah tabrakan viseral antara kekerasan politik, tradisi, dan simbol. Meski terpisah dari rumah bobrok, patung-patung ini memperluas sensasi “kerusakan” yang sama: betapa rapuhnya makna bersama kita di tengah pertarungan kuasa.

Bentuk-bentuk hibridanya, seperti Bapak yang menyerupai kadal raksasa, adalah tabrakan viseral antara kekerasan politik, tradisi, dan simbol.

Nindityo memaknai rumah bobrok ini dalam konteks politik kekinian. Fragmen-fragmen karyanya menandakan kecemasan yang lebih dalam tentang identitas dan representasi di bawah politik dinasti terutama setelah pemilihan umum Indonesia 2024 dan keberlanjutan kekuasaan yang menjengkelkan. Meski tidak membuat klaim langsung, karya-karyanya menyiratkan iklim erosi simbolis, di mana ikatan keluarga dan otoritas institusional menjadi mata uang dan korban ambisi politik.

Pada akhirnya, pertemuan dua seniman ini berkembang menjadi penelusuran bersama: bagaimana kehendak yang menggelegak dalam diri, entah yang terang-benderang atau yang tersembunyi dalam kelam, menjadi tenaga penggerak penciptaan. Praktik Nindityo, yang puluhan tahun menyelami identitas lewat ketajaman konseptual, menemukan denyut baru dalam wayang karton Imam. Sementara proses kreatif Imam, yang berakar pada ingatan sensorik, kian mengkristal dalam aliran rindu dan imajinasi.

“Staging Desire” menghidupkan kehendak bukan sebagai tema mati, melainkan sebagai sungai yang mengalir, membentuk konteks sekaligus dibentuk olehnya. Lewat jagat simbol masing-masing, Imam dan Nindityo menari di tepian tegangan: antara diri dan masyarakat, kenyataan dan khayal, kerinduan dan kepenuhan.

Pameran ini menyodorkan ruang refleksi: saat hasrat menjelma mesin pencipta, terbukalah lorong-lorong makna baru. Di sanalah, di antara tarik-menarik kekuatan yang berlawanan, arti-arti bergeser dan tersingkap seperti bayangan wayang yang menari di dinding, selalu berubah saat cahaya menyentuhnya.


  • Gambar cover: Dok. Hidayat Adhiningrat

Hidayat Adhiningrat
Latest posts by Hidayat Adhiningrat (see all)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *