Satu karya yang Faisal Kamandobat tampilkan pada ArtJog 2025 seolah mengajak kita mengintip secuil permasalahan dunia. Ada kritik epistemologis yang dibawa Endog Jagad. Semua ini dibalut dalam karya seni yang indah dinikmati indra.

JIka sebelumnya, penulis membahas autobiografiction yang sengaja ditampilkan Faisal Kamandobat melalui Endog Jagad: Serat Nubuwat Kiai Jembar Manah. Kali ini kita akan bahas susunan konsep epistemologi yang Faisal tawarkan dengan berpusat pada aspek ekologi dan kosmologinya.
Sebagai pribadi yang lahir dan besar di Majenang, Cilacap, Jawa Tengah, Faisal enggak menampik dirinya tak lekang dari tradisi dan sosial yang tumbuh dan masih terpelihara di lingkungannya. Makanya enggak heran saat dia menyebut alam adalah kerabat.
Pola pikir yang diusung Faisal dalam karyanya ini bersesuaian dengan perspektif Gregory Bateson (1904-1980). Bateson sendiri merupakan antropologi asal Inggris. Ia pernah menyinggung peran alam sebagai kesatuan organisme dan lingkungannya.
Endog Jagad dianggap Faisal pas untuk mengkritik epistemologi modern, serta menawarkan kosmologi baru memaknai alam. Apalagi kondisi alam yang kian hari menuju senjakala di tengah zaman yang mengagungkan modernisasi dan globalisasi membuat Faisal ikut prihatin.
Enggak berhenti hanya pada Bateson aja yang dijadikan Faisal sebagai pisau bedah kritiknya. Ia juga hadirkan diskusi tentang yang sakral di ruang profan melalui kacamata Mircea Eliade (1907-1986). Ada juga George Santayana (1863-1952), filsuf asal Spanyol yang bahas soal keindahan membawa nilai kehidupan.
Eliade yang juga seorang filsuf dan sejarawan asal Rumania ini pernah menyinggung tentang manusia sebagai homo religiosus, yaitu manusia disebut bisa hidup di alam yang mengedepankan sakralitas atau menganut nilai-nilai religius.
Jadi singkatnya melalui Endog Jagad, Faisal mau bilang bahwa upaya-upaya tradisional yang masih dijalankan masyarakat di era modern ini tidak berdiri sendiri (otonom), termasuk karya seni yang dihadirkannya melalui Endog Jagad. Seni pasti melekat dengan kehidupan penciptanya, bukan sesuatu yang lahir tiba-tiba dari ruang kosong.
Emang karyanya Faisal lewat Endog Jagad: Serat Nubuwat Kiai Jembar Manah berisi apa aja, sih? Kok suatu karya seni jadi memuat epistemologi sampai kosmologi segala? Simak penjelasannya di bawah, ya!
Narasi Kiai Jembar Manah
Endog Jagad: Serat Nubuwat Kiai Jembar Manah karya Faisal Kamandobat memuat kisah perjalanan hidup penuh nilai dari seorang Kiai Jembar Manah. Ia sendiri merupakan ulama kampung yang tinggal di dusun Karanggedang, Majenang, Cilacap, Jawa Tengah. Kisahnya menceritakan fase-fase awal kehidupan hingga wafat yang dialami Kiai Jembar Manah. Alurnya mengikuti tembang macapat Jawa.
Menurut cerita, awalnya Karanggedang dihantui mitos dan makhluk gaib yang membuat warga hidup dalam ketakutan. Apalagi warganya jauh dari ilmu. Hingga Kiai Jembar Manah datang membawa ilmu. Warga menyentuh nikmat pendidikan, ikut membangun masjid yang tidak hanya hadir sebagai tempat ibadah, tetapi juga sarana warga belajar dan berkumpul.
Seiring waktu warga Karanggedang menemukan harapan baru di mana anak-anak mulai mengaji, orang tua bersilaturahmi, dan ilmu menjadi sumber kebahagiaan. Kegiatan-kegiatan banyak tumbuh di sana dan diinisiasi oleh para remaja Karanggedang, seperti menciptakan mesin es, bertani, dan sebagainya. Desa yang dulunya penuh ketakutan kini menjadi ruang yang hidup, egaliter, tanpa kehilangan akar tradisinya.
Sayangnya, enggak ada kehidupan yang berjalan mulus bebas hambatan. Semakin desa berkembang, datang godaan dari luar seperti tawaran uang dan janji modernitas dari perusahaan besar. Hal ini membuat warga tergoda.
Melihat kondisi ini, Kiai Jembar Manah melalui tembang dan petuahnya mengingatkan bahwa ilmu tanpa laku hanyalah hambatan, dan kekuasaan tanpa kasih akan kering tak berdaya. Pembangunan sejati bukan menjual tanah dan jiwa, melainkan menjaga warisan, ilmu, dan rasa. Saat Kiai Jembar Manah mendekati ajalnya, ada pesan yang disuguhkan Faisal bahwa kematian bukan akhir, melainkan penyatuan jiwa dengan alam semesta.
Jadi, melalui Endog Jagad: Serat Nubuwat Kiai Jembar Manah, Faisal enggak cuma menghadirkan karya instalasi. Dia juga menawarkan kitab kehidupan yang menghubungkan manusia dengan alam, budaya, dan Sang Pencipta.
Dari Tradisi hingga Ekologi, Faisal Menjual Pengetahuan

Bagi Faisal, karya seni bukan sekadar objek estetik yang dilihat atau dinikmati aja. Karya seni juga bisa hadir sebagai kitab yang membawa pengetahuan. “Aku menjual isi, knowledge, bukan artistiknya. Jadi yang dijual filosofinya, bukan artistiknya. Karena artistiknya ini sebenarnya dikerjakan banyak orang. Dan orang-orang ini memang sengaja aku minta bantuannya, seperti ukir kayu, melukis, dan lainnya,” kata Faisal saat dihubungi melalui telepon oleh penulis, 8 September 2025.
Pernyataan Faisal ini memberikan pemahaman baru bahwa orientasi seni yang dibawa dirinya bukan lagi sekadar tawaran pasar bentuk visual aja, melainkan mengajak kita masuk ke ruang epistemologi dari sebuah karya. Dan karya seni enggak lagi soal permainan bentuk, tetapi medium pemikiran yang ditawarkan bagi para penikmat seni oleh senimannya.
Pandangan Faisal soal seni ini sejalan dengan gagasan Paul Ricoeur dalam buku Time and Narrative (1984). Ricoeur menyebut karya manusia sebagai “is a configuration of meaning that goes beyond the surface form,” (Ricoeur, 1984, hal.52). Dengan demikian, seni yang ditawarkan Faisal bukanlah estetika murni, melainkan narasi filosofis yang memberi tafsir baru atas pengalaman hidup.
Toh, Faisal mengakui karyanya bukan sesuatu yang sempurna. Karyanya dikerjakan keroyokan dengan melibatkan partisipasi orang-orang di kampungnya. “Aku bikin konsep painting-nya gini, terus digambar bareng-bareng. Dan itu semakin melibatkan banyak orang, semakin bagus hasilnya,” tambah dia.
Namun, poin utama Endog Jagad ada pada tawaran penataan sosial kultural lewat kosmologi lokal. Faisal melihat masyarakat tradisional mampu membanguan struktur sosial yang resilien dan holistik, yang mencakup nilai-nilai ekologi, spiritual, serta tradisi.
“Aku menjual isi, knowledge, bukan artistiknya. Jadi yang dijual filosofinya, bukan artistiknya. Karena artistiknya ini sebenarnya dikerjakan banyak orang. Dan orang-orang ini memang sengaja aku minta bantuannya, seperti ukir kayu, melukis, dan lainnya,” kata Faisal.
Bateson dan Perspektif Ekologinya
Pandangan Faisal ini sesuai dengan pemikiran Bateson dalam buku Steps to an Ecology of Mind (1972). Bateson menulis, “The major problems in the world are the result of the difference between how nature works and the way people think” (Bateson, 1972, hal. 467). Bagi Bateson, pola pikir yang utuh diperlukan agar manusia dapat bertahan. Pandangan inilah yang tampak dalam Endog Jagad karya Faisal.
Faisal menghadirkan Endog Jagad sebagai respon artistik-nya terhadap kesenjangan antara berpikir modern yang fragmentaris dan pola kerja alam yang holistik. Endog Jagad jadi simbol yang menegaskan kesatuan manusia, alam, dan kosmos dalam satu siklus kehidupan.
Hal ini sejalan dengan Bateson yang bilang kalau pola pikir reduksionis modern yang banyak dianut manusia masa kini punya resiko merusak relasi ekologis. Contohnya sudah banyak kasus penyerobotan lahan adat misalnya, yang dialihfungsikan jadi tambang, dan sebagainya.
Makanya, melalui seni inilah Faisal enggak cuma mau mengkritik fenomena tersebut yang sudah banyak terjadi, tetapi juga menawarkan kembali kepada kosmologi lokal sebagai bentuk epistemologi alternatif yang lebih dekat dengan cara alam bekerja.
Bateson juga menulis dalam buku Mind and Nature bahwa, “the unit of survival is not the organism or the species but the organism plus environment” (Bateson, 1979, hal. 491). Karya Faisal mencerminkan pandangan ini dengan menolak pandangan antroposentris yang memisahkan manusia dari lingkungannya.
Sebaliknya, ia menekankan keterkaitan erat antara manusia, komunitas, dan alam sebagai satu kesatuan yang menentukan kelangsungan hidup. Jadi, Endok Jagad tidak hanya menjadi karya estetis, tetapi juga ekspresi filosofis yang menegaskan pentingnya pola pikir ekologis untuk keberlanjutan hidup bersama.
Ajak Eliade dan Santayana Bangun Gagasan Epistemologi
Selain “meminjam” gagasan Bateson dalam Endog Jagad, Faisal juga menyeret pandangan Mircea Eliade dan George Santayana untuk memperkuat banguanan epistemologi karyanya. Seni dianggap Faisal sebagai medium untuk menyampaikan gagasan sosial dan kosmologi, enggak cuma bentuk ekspresi personal karyanya.
Makanya, pandangan Eliade sesuai banget sama alam pikiran yang dipakai Faisal dalam Endog Jagad. Eliade dalam buku The Sacred and the Profane (1957) menulis bahwa bagi masyarakat tradisional, simbol dan ritus selalu merupakan hierophany. Hierophany sendiri merupakan sesuatu yang sakral dan hadir dalam dunia yang riil. “For religious man, nature is never only natural, it is always fraught with a religious value” (Eliade, 1957, hal. 11).
Singkatnya, Eliade berpandangan kalau manusia hidup enggak bisa lepas dari pandangan tradisional dan kepercayaannya. Sehingga hierophany ya, jadi sesuatu yang alamiah aja terjadi pada kehidupan manusia. Makanya Faisal dengan Endog Jagad-nya mau memperlihatkan bahwa seni yang disodorkannya adalah permasalahan antara yang tradisional dengan realitas modern yang dialami masyarakat.
Selain itu, melalui seni Faisal ingin menegaskan bahwa alam semesta, termasuk seni itu tidak bisa berdiri sendiri, selalu berkelindan dengan unsur-unsur lainnya. Dia menyebut, “Bagi masyarakat, seni itu tidak otonom. Tapi melekat pada semua aspek kehidupan.”
Pernyataan ini juga pada akhirnya menggemakan pandangan George Santayana dalam The Sense of Beauty (1896), di mana ia menyatakan, “Beauty is an ultimate value, something that gives worth to life itself” (Santayana, 1896, hal. 11). Dengan kata lain, estetika bukanlah entitas terpisah, melainkan menyatu dalam kehidupan sehari-hari.
Lebih jauh, konsep hierophany Eliade membuka jalan untuk memahami karya Faisal sebagai pengalaman sakral yang dimediasi oleh bentuk estetis. Simbol telur kosmik dan huruf nur tidak berdiri sendiri sebagai ornamen, melainkan berfungsi sebagai medium yang menghadirkan sakralitas ke ruang pameran modern.
Dengan cara ini, Endog Jagad menjadikan seni sebagai titik temu antara ritual tradisional dan pengalaman estetika kontemporer, di mana yang sakral dan profan menyatu dalam pengalaman masyarakat.
Santayana juga menegaskan bahwa keindahan adalah nilai tertinggi yang memberikan makna bagi kehidupan. Pandangan ini selaras dengan penekanan Faisal pada otentisitas karya, bukan kesempurnaan formal.
Endok Jagad dengan demikian bukan hanya indah dalam arti visual, tetapi juga bernilai karena menghidupkan kesadaran kosmik dan spiritual. Estetika disini bersifat integral yang mana ia menempel pada kehidupan, bukan berdiri di luar kehidupan.
Dengan menggabungkan Eliade dan Santayana, kita melihat bahwa karya Faisal mengandung dua dimensi penting. Pertama, ia adalah hierophany yaitu perwujudan sakral dalam dunia konkret, sebagaimana dijelaskan Eliade. Kedua, ia adalah keindahan yang memberi nilai hidup, sebagaimana dikatakan Santayana.
Dengan demikian, Endog Jagad dapat dipahami sebagai seni yang sakral dan eksistensial, karena menghadirkan pengalaman religius dan filosofis yang menyatu dengan kehidupan.
Indah dan Kritis!

Faisal secara kritis menolak naturalisme modern yang menempatkan manusia di atas alam. Ia menyebut, “Dalam kosmologiku, nature itu menjadi kerabat, menjadi satu kesatuan yang lekat dengan masyarakat”.
Pandangan ini selaras dengan Gregory Bateson yang menekankan pola hubungan timbal balik antara manusia dan lingkungan. Endog Jagad dapat dipandang sebagai representasi artistik atas gagasan ekologis ini.
Lebih dari itu, Faisal menamai pendekatannya sebagai Living Illumination, atau iluminasi nyata yang bekerja di ruang konkret. Konsep ini dekat dengan Mircea Eliade, yang menegaskan bahwa pengalaman sakral bukanlah abstraksi, melainkan sesuatu yang “always manifests itself in a specific situation” (Eliade, 1957, hal. 63). Dengan demikian, karya Faisal adalah realisasi pengetahuan yang lahir dari kehidupan sehari-hari masyarakat.
Pada akhirnya, dengan menekankan bahwa yang dijual Faisal adalah pengetahuan, bukan artistiknya. Faisal menghadirkan paradigma seni yang filosofis dan antropologis. Ia berada dalam jalur pemikiran Bateson, Eliade, hingga Santayana, yang sama-sama menegaskan bahwa seni tak pernah sekadar bentuk, tetapi merupakan wahana makna.
Endok Jagad dan Living Illumination bukan hanya karya visual, melainkan “kitab” yang menawarkan pengetahuan kosmik, sosial, dan ekologis. Ia menawarkan cara untuk melihat dunia bukan dengan mata estetika semata, melainkan dengan kesadaran filosofis yang utuh.
“Dalam kosmologiku, nature itu menjadi kerabat, menjadi satu kesatuan yang lekat dengan masyarakat”.
- Gambar cover: Dok. ArtJog 2025 Catalog.