Menengok Endog Jagad dan mengamati tiap lapisan karya yang ditawarkan Faisal Kamandobat dalam ArtJog 2025 lalu menghadirkan nuansa baru dalam menikmati karya seni. Endog Jagad mengajak kita bersafari tentang dunia lain, dunia imajiner lengkap dengan narasi dan tokohnya. Ada selipan kisah fictional autobiografi atau autobiografiction yang ditampilkan Faisal.

Bayangin kamu melihat suatu karya seni yang enggak cuma hadir di lokasi pameran dan sibuk mikir makna karya apa ini. Alih-alih kamu seolah ditarik ke dunia imajiner saat melihat karya tersebut. Kok bisa? Karena ada narasi yang terpampang gamblang yang ditawarkan sang seniman kepada kita saat mengikuti alur karya yang disuguhkan
Sebuah gulungan kanvas ditulis dalam aksara Arab Pegon dengan panjang 14 meter dan lebar 1,5 meter terpampang di ruang pameran saat ArtJog 2025 dengan tajuk Motif: Amalan. Pamerannya sendiri telah berlangsung di Jogja National Museum pada medio 2025 lalu. Tak hanya lukisan, dipajang juga pahatan kayu, figur wayang, dan papan tulis tradisional di sana.
Judul lengkap karyanya Endog Jagad: Serat Nubuwat Kiai Jembar Manah. Karya ini dibuat oleh Faisal Kamandobat, seniman asal Cilacap, Jawa Tengah. Ia menghadirkan instalasi multidimensional ini sebagai “kitab” pengetahuan yang enggak berhenti pada keindahan visual aja, tapi juga menyatukan pengalaman spiritual, kosmologis, ekologis, dan juga sosial.
Jadi singkatnya, Faisal menawarkan paket lengkap suatu karya yang isinya penuh dengan pengetahuan semesta. DIa menyebut ini sebagai medium manuskrip iluminasi, karena memadukan aksara Arab Pegon, figur simbolik, ukiran, dan unsur performatif. Jadi, bukan cuma keindahan estetik yang Faisal kasih, tetapi juga tawaran aspek filosofis dalam Endog Jagad.
Salah satu hal yang membuat karya ini menarik adalah kehadiran figur fiktif dalam narasi, yaitu Kiai Jembar Manah. Kalau kamu jeli melihat karyanya, Kiai Jembar Manah ini figur fiktif yang ternyata juga tokoh representatif diri Faisal dan ayahnya.
Kalau dalam terminologi filsafat, yang dilakukan Faisal bisa disebut juga fictional autobiography atau autobiografiction yang pernah dipaparkan sama Stephen Reynolds (1906), yang kemudian dikembangkan lagi oleh Max Saunders (2010).
Jadi, dalam esai kali ini penulis ingin membahas tentang karya Endog Jagad: Serat Nubuwat Kiai Jembar Manah dari Faisal Kamandobat dalam perspektif fictional autobiography dengan pisau bedah pakai Reynolds dan Saunders.
Ops, tulisan fragmen tentang karya Faisal ini akan penulis buat satu lagi dengan perspektif ekologi dan tradisi. Jadi akan ada dua tulisan yang membedah Endog Jagad ini, ya.
Autobiografiction atau Fictional Autobiography

Seperti yang sempat disinggung sebelumnya, Endog Jagad: Serat Nubuwat Kiai Jembar Manah karya Faisal ini sebenarnya salah satu cara dirinya mau menghadirkan autobiografi dalam sebuah karya seni.
Kecurigaan ini sempat penulis tanyakan langsung kepada Faisal melalui telepon. “Iya, itu autobiografi aku sama bapak. Makanya disebut fictional autobiography dengan tokohnya Kiai Jembar Manah. Hehehe,” akunya kepada penulis pada 8 September 2025 silam.
Figur sang ayah yang tumbuh dan ikut membangun Majenang sangat membekas bagi Faisal. Hal ini terlihat dari jejak kiprah sang ayah yang membangun dan melestarikan Pondok Pesantren Pembangunan Miftahul Huda atau Pesantren Cigaru di Majenang, Cilacap, Jawa Tengah.
Kecintaan dan rasa hormatnya pada bapak inilah yang Faisal ramu bersama dirinya sehingga memunculkan figur Kiai Jembar Manah. Kiai Jembar Manah adalah tokoh fiktif, seorang ulama kampung yang hidup bersama masyarakat di Karanggedang, Majenang.
Makanya enggak heran kalau narasi yang dihadirkan Faisal berlatar tempat di kampungnya sendiri dengan sosok-sosok masyarakat sekitar, seperti santri, petani, tukang kayu, pedagang, dan lainnya. Mereka semua hidup dan beradaptasi di tengah gempuran zaman modern dengan tetap mempertahankan tradisi keagamaan, budaya, dan sosial.
Sehingga, Endog Jagad bisa kamu nikmati seperti sedang membaca buku, menonton film atau wayang, apapun. Faisal menyediakan ruang imajiner bagi kita dengan narasi yang demikian luas untuk diinterpretasikan sesuai apa yang kita tangkap saat melihat Endog Jagad. Bahkan, Faisal mengaku Endog Jagad terbuka pada interpretasi jika ada orang atau pihak yang mau mengisi ulang narasi yang dia tulis.
Bagi Faisal, masyarakat yang kurang terpapar kebijakan pemerintah dan globalisasi adalah masyarakat yang lebih gampang bangkit dari keterpurukan yang dihadapi. Ia juga mencontoh bagaimana Suku Bajo yang jauh dari pusat perhatian lebih cepat resiliensi menghadapi perubahan zaman.
“Karena masyarakat itu bisa resilience, dan bisa berkembang sesuai dengan struktur yang mereka bikin sendiri. Dan struktur tersebut itu tercipta secara holistik, beda sama pemerintah,” katanya.
"Iya, itu autobiografi aku sama bapak. Makanya disebut Fictional Autobiography," ungkap Faisal kamandobat saat dihubungi penulis, 8 September 2025.
Antara Stephen Reynolds dan Max Saunders

Stephen Reynolds pertama kali memperkenalkan istilah autobiografiction dalam bukunya Autobiografiction (1906). Menurutnya, terdapat bentuk penulisan yang berada di antara autobiografi, fiksi, dan esai.
Reynolds menyebut karya seperti ini sebagai “a record of real spiritual experiences strung on a credible but more or less fictitious autobiographical narrative” (Reynolds, 1906, hal. 3). Artinya, sebuah teks dapat berangkat dari pengalaman nyata penulis, tetapi dituturkan ulang dalam bingkai naratif fiktif atau imajiner.
Enggak heran Endok Jagad karya Faisal Kamandobat bisa ditempatkan dalam kategori autobiografiction. Karyanya merekam pengalaman spiritual dan personal, tetapi disampaikan melalui medium simbol kosmik dan figur imajiner Kiai Jembar Manah. Penulis menyebut karya ini sebagai autobiografi yang difiksionalisasi dan menekankan pada narasinya.
Selain itu, Endog Jagad juga bisa dibaca melalui pandangan Max Saunders. Dalam buku Self Impression: Life-Writing, Autobiografiction, and the Forms of Modern Literature (2010), Saunders menegaskan kalau autobiografiction merupakan strategi modernis untuk menulis kehidupan dengan mengaburkan batas antara autobiografi faktual dan narasi imajiner. Saunders menulis, “Autobiografiction is life-writing which presents itself as fictional, but which at the same time invokes the autobiographical pact” (Saunders, 2010, hal. 8).
Kategori ini membuka ruang bagi Faisal merekam pengalaman personal sembari mengolahnya dalam struktur simbol dan narasi fiktif. Endog Jagad dengan demikian dapat dipahami sebagai karya yang mengikat autobiografi Faisal dan ayahnya, tetapi disampaikan ulang dalam bentuk fiksi kosmik yang merangkul simbol telur dan figur imajiner Kiai Jembar Manah.
Dalam Endog Jagad, Faisal tidak hanya menyampaikan dirinya, tetapi juga membiarkan tokoh imajiner (Kiai Jembar Manah)itu berfungsi sebagai medium transenden yang menampung pengalaman ayah dan dirinya, tradisi pesantren, dan horizon kosmos kehidupannya di Cigaru.
Menurut Saunders, praktik semacam ini menciptakan bentuk baru dari penulisan diri yang “menguji batas antara keaslian dan fiksi” (hal. 15). Jika autobiografi konvensional menekankan keotentikan riwayat hidup, autobiografiction justru menampilkan ambivalensi antara fakta dan imajinasi sebagai kekuatannya.
Endog Jagad dapat dilihat melalui kerangka ini di mana karya tersebut tidak berpretensi menjadi catatan riil biografi Faisal dan ayahnya, melainkan sebuah konstruksi simbolik yang menyingkap “kebenaran” esensial dalam bentuk fiksi kosmik. Dengan kata lain, kebenaran di sini bukan kebenaran faktual, melainkan kebenaran pengalaman batin yang diformulasikan melalui simbol.
Ini Jelas Autobiografiction!

Pada akhirnya, membaca Endok Jagad dengan kacamata Saunders memungkinkan kita untuk menempatkan karya tersebut dalam tradisi panjang autobiografiction, sebuah praktik seni dan sastra yang menyadari keterbatasan autobiografi murni, lalu merangkul fiksi dan simbol sebagai cara lebih dalam untuk menyingkap pengalaman diri.
Faisal dengan sadar menulis dirinya dan sang ayah sebagai narasi fiksi simbolis, mengafirmasi apa yang disebut Saunders sebagai “the modernist experiment in life-writing” (hal. 19), yakni upaya untuk menghadirkan hidup bukan dalam bentuk dokumentasi linear, tetapi sebagai permainan naratif dan simbolik yang kaya.
Kalau Reynolds melalui konsep autobiografiction menegaskan bahwa autobiografi dapat dibangun dari pengalaman nyata yang dituturkan dalam bingkai fiksi, maka Saunders memperluas kerangka itu dengan menunjukkan dimensi performatif dan role-playing dalam Self Impression itu tadi.
Dalam konteks Endok Jagad, karya Faisal dapat dipahami sebagai pertemuan antara dua gagasan ini menjadi selaras, di mana ia meminjam pengalaman nyata dirinya dan ayahnya sebagaimana dijelaskan Reynolds, sekaligus menyalurkan identitas itu melalui persona simbolik Kiai Jembar Manah sebagaimana ditekankan Saunders.
Dengan demikian, karya Faisal berfungsi sebagai fictional biography atau autobiografiction yang bukan hanya merekam hidup dalam bentuk fiksi saja, tetapi juga menghadirkannya sebagai permainan peran kosmik yang menghubungkan autobiografi personal dengan horizon simbol dan pemaknaan yang lebih luas.
- Gambar cover: Dok. Katalog ArtJog 2025.